Rumah Peti Mati di Hongkong

Posted on

Di balik gemerlapnya Hongkong sebagai pusat perdagangan dunia, tak sedikit masyarakatnya yang kesulitan mendapatkan tempat tinggal dan memilih tinggal di coffin homes. Dilansir dari Guardian, Senin (8/7/2024), coffin homes atau rumah peti mati muncul pada akhir tahun 1950-an yang mayoritas dihuni oleh imigran baru dari China sebagai hunian yang disediakan oleh majikan. Salah satu coffin homes misalnya berada di sebuah apartemen seluas 46 meter persegi yang diisi oleh 30 penghuni.

Para penghuni tinggal di tempat tidur susun kayu lapis yang dibuat khusus, masing-masing memiliki pintu geser sendiri. Terdapat dua baris ranjang susun dengan 16 ranjang susun di setiap baris. Ranjang susun yang dianggap sebagai “rumah” tersebut memiliki panjang 170 sentimeter dan lebar 60 sentimeter. Untuk tempat tidur berukuran 1,1 meter persegi tersebut, penghuni harus membayar sewa sekitar 1.800-2.500 dolar Hongkong pada tahun 2016, atau setara dengan Rp 3,7 juta-Rp 5,2 juta.

Coffin homes dihuni oleh para pensiunan, pekerja miskin, pecandu narkoba, dan orang-orang dengan penyakit mental. Sebagian besar penghuni adalah mereka yang tidak mampu mengimbangi tingginya biaya perumahan di Hongkong. Sementara Hongkong disebut sebagai pasar perumahan termahal di dunia, di mana masyarakat harus menabung lebih dari 18 tahun gaji sebelum pajak agar dapat membeli rumah.

Meskipun pemerintah Hong Kong menyadari masalah ini, mencari solusi jangka panjang tetap menjadi tantangan. Upaya untuk menyediakan perumahan yang lebih layak dan terjangkau masih terus dilakukan, namun laju permintaan sering kali melampaui kemampuan penyediaan perumahan baru. Masalah ini menyoroti ketidaksetaraan yang ada di kota yang dikenal sebagai salah satu pusat keuangan dunia, di mana kemewahan berdampingan dengan kemiskinan ekstrem yang memaksa banyak penduduk hidup di dalam coffin home.